PRAKTIKUM BIOINDIKATOR PERAIRAN



BIOINDIKATOR PERAIRAN

LAPORAN PRAKTIKUM
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Ekologi
yang dibina oleh Bapak Dr. Hadi Suwono, M.Si dan Ibu Dr.Vivi Novianti M.Si

Oleh
Kelompok 3
(1) Asma’ul Khusna                    (150341602400)
(2) Koko Murdianto                    (150341605345)
 (3) Luthfianti Fanani                  (150341603019)
(4) Siti Nurhalizah                        (150341607130)
(5) Yulista Trias Rohayati           (150341605343)




Description: logo um 1
 








UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
April 2017



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
 Sungai merupakan salah satu ekosistem lotik (perairan mengalir) memiliki fungsi sebagai tempat hidup organisme (Maryono, 2005). Organisme yang hidup dalam perairan sungai adalah organisme yang telah memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap kecepatan arus (Susanto dan Rochidanto, 2008). Sungai merupakan salah satu lingkungan yang sering terkena dampak pencemaran. Pencemaran dapat disebabkan karena berbagai jenis aktivitas manusia yang dilakukan di sepanjang daerah aliran sungai. Meningkatnya aktivitas domestik, pertanian dan industri akan mempengaruhi dan berdampak buruk terhadap kondisi kualitas air sungai (Priyambada et al., 2008).
Dalam ekosistem perairan, komunitas bentos sangat penting terutama di danau dan sungai (Sharma et al, 2013). Makrozoobentos sering digunakan dalam menilai kualitas lingkungan perairan (Vyas et al,  2012). Makrozoobentos adalah organisme yang sering digunakan sebagai indikator pencemaran dan berperan juga dalam biomonitoring dari suatu perairan (Minggawati, 2013). Karena hidupnya yang cenderung menetap pada sedimen dasar perairan,  memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar, mobilitas yang rendah (Sharma et al., 2013), mudah di tangkap dan memiliki kelangsungan hidup yang panjang  (Purnami et al. 2010).  Makrozoobentos berkontribusi sangat besar terhadap fungsi ekosistem perairan  dan memegang peranan penting seperti proses mineralisasi dalam sedimen dan siklus material organik serta berperan dalam transfer energi melalui bentuk rantai makanan sehingga hewan ini berfungsi sebagai penyeimbang nutrisi dalam lingkungan perairan (Minggawati, 2013). Komposisi makrozoobentos dapat merespon perubahan variasi karakteristik fisika kimia air diatasnya (Stamenkovic et al, 2010).
Demikian pentingnya peranan makrozoobentos dalam ekosistem perairan sehingga jika komunitas makrozoobentos terganggu, pasti akan menyebabkan terganggunya ekosistem (Purnami et al. 2010). Akibat terjadinya perubahan habitat dan dinamika ekosistem perairan yang sangat ditentukan oleh kondisi awal (substrat). Oleh karena itu tujuan pengamatan  ini adalah untuk mengetahui kualitas perairan khususnya sungai yang ada di Universitas Negeri Malang  dan ,mengidentifikasi keberadaan  makrozoobenthos perairan di kawasan tersebut
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kualitas perairan khususnya sungai yang ada di Universitas Negeri Malang ditinjau dari faktor biologi?
2.      Bagaimana keberadaan  makrozoobenthos perairan di kawasan sungai FMIPA UM?
1.3 Tujuan
1.      Mengetahui kualitas perairan khususnya sungai yang ada di Universitas Negeri Malang ditinjau dari faktor biologi.
2.      Mengidentifikasi keberadaan  makrozoobenthos perairan di kawasan sungai.
1.4  Manfaat
Dengan dilakukannya studi mengenai bioindikator perairan di kawasan sungai Universitas Negeri Malang, maka didapatkan manfaat sebagai berikut.
1.      Mahasiswa memperoleh kemampuan mengenai cara mengukur parameter kualitas perairan
2.      Mahasiswa memperoleh kemampuan mengenai cara memberi nama suatu bioindikator atau makrozoobenthos yang ditemukan
1.5  Batasan
Lokasi kegiatan pratikum adalah  sungai yang mengalir di daerah UM. Lingkup kegiatannya adalah pratikum bioindiikator perairan untuk mengetahui kualitas perairan yang ditinjaudari faktor biologi dan mengidentifikasi makrozoobenthos perairan di kawasan tersebut.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Air
Untuk perairan yang dinamis, analisis fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran sesungguhnya akan kualitas perairan, sedangkan analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan bentos, dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas perairan. Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Di antara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk makrozoobentos (Odum, 1994).
Menurut Nybakken (1992), sifat fisika-kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, seperti makrozoobentos, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik (fisika- kimia) perairan, karena antara faktor abiotik dan biotik saling berinteraksi. Menurut Barus (2004), dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor-faktor abiotiknya maka akan diperoleh gambaran tentang kondisi dan kualitas perairan.
Dalam setiap penelitian pada ekosistem akuatik, pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan.Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di air serta semua aktivitas biologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van’ Hoffs kenaikan temperatur sebesar 10o C (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat (Barus, 2004).
       1. Temperatur
Temperatur air pada suatu perairan merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan distribusi makroinvertebrata air. Pada umumnya temperatur di atas 30oC dapat menekan populasi makroinvertebrata air (Odum, 1994). Welch (1980) menyatakan bahwa hewan makroinvertebrata air pada masa perkembangan awal sangat rentan terhadap temperatur tinggi dan pada tingkatan tertentu dapat mempercepat siklus hidup sehingga lebih cepat dewasa. James dan Eviosn (1979) menyatakan bahwa temperatur yang tinggi menyebabkan semakin rendahnya kelarutan oksigen yang menyebabkan sulitnya organisme akuatik dalam melakukan respirasi karena rendahnya kadar oksigen terlarut.
Menurut Koesbiono (1979), pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Muatan padatan tersuspensi dan kekeruhan, menurut Sandy (1985) sangat dipengaruhi oleh musim.Pengukuran faktor fisik yaitu pengukuran kekeruhan air dengan menggunakan turbidimeter.Jika tingkat kekeruhannya telah mencapai 1000 FTU menunjukan kondisi perairan telah banyak tercemar oleh sampah-sampah organik maupun anorganik. Kekeruhan akan mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk.  Penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi organismee fotosintetik dan juga mempengaruhi migrasi vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu (Barus, 2004).
2. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, yaitu untuk respirasi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi temperatur, dimana kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada temperatur 0o C sebesar 14,16 mg/l O2, kelarutan ini akan menurun jika temperatur air meningkat (Barus, 2004).
Barus (2004) menyatakan bahwa nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6–8 mg/l, makin rendah nilai DO maka makin tinggi tingkat pencemaran ekosistem tersebut. Range alat ukur oksigen terlarut dalam air DO METER DO-5510 yang praktikan gunakan adalah Dissolved Oxygen 0-20,0 mg / L (liter), oksigen di udara 0-100,0%, dan suhu 0 hingga 50 °.
3. Kadar Organik
Kadar organik adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobentos, dimana kadar organik ini adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobentos tersebut. Tingginya kadar organik pada suatu perairan umumnya akan mengakibatkan meningkatnya jumlah populasi hewan bentos dan sebagai organisme dasar, bentos menyukai substrat yang kaya akan bahan organik. Maka pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi hewan bentos (Koesbiono, 1979).
4. pH
Hasil pengukuran faktor kimia yang pertama yaitu derajat keasaman air (pH) dilakukan dengan menggunakan pH-meter. Perairan yang memiliki kadar pH ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang asam dan akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya berbagai gangguan seperti gangguan metabolisme dan respirasi termasuk pada bentos (Barus, 2004).
5. Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan hubungan kelimpahan spesies dalam komunitas. Keanekaragaman spesies terdiri dari 2 komponen, yaitu:
1. Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies
2. Kesamaan spesies. Kesamaan menunjukkan bagaimana kelimpahan spesies itu tersebar antara banyak spesies itu.
Kekayaan species dan kesamaannya dalam suatu nilai tunggal digambarkan dengan Indeks Diversitas. Indeks diversitas adalah hasil dari kombinasi kekayaandan kesamaan species .Ada nilai indeks diversitas yang sama didapat dari komunitas dengan kekayaan yang rendah dan tinggi kesamaan kalau suatu komunitas yang samadidapat dari komunitas dengan kekayaan tinggi dan kesamaan rendah. Jika hanya memberikan nilai indeks diversitas, tidak mungkin untuk mengatakan pentingnya relatif kekayaan dan kesamaan species (Welch, 1980).
Keanekaragaman dapat dianalisis dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang diperoleh dengan parameter kekayaan jenis dan proporsi kelimpahan masing-masing jenis di suatu habitat.Indeks ini merupakan salah satu yang paling sederhana dan banyak dipergunakan untuk mengukur indeks diversitas.Indeks Shannon-Weiner dapat dipergunakan untuk membandingkan kestabilan lingkungan dari suatu ekosistem. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang digunakan memiliki formula sebagai berikut:




H’ = - Σ (pi log pi)
Keterangan:
H’        = indeks keanekaragaman
Pi         =perbandingan jumlah individu satu jenis dengan jumlah individu  keseluruhan sampel dalam plot (n/N)

Indeks ini didasarkan pada teori informasi dan merupakan suatu hitungan rata-rata yang tidak pasti dalam memprediksi individu species apa yang dipilih secara random dari koleksi S species dan individual N akan dimiliki. Rata-rata ini naik dengan naiknya jumlah species dan distribusi individu antara species-species menjadisama/merata. Ada 2 hal yang dimiliki oleh indeks Shanon yaitu:
1. H’=0 jika dan hanya jika ada satu species dalam sampel.
2. H’ adalah maksimum hanya ketika semua species S diwakili oleh jumlahindividu yang sama, ini adalah distribusi kelimpahan yang merata secarasempurna.
Suatu komunitas yang memiliki nilai H’ < 1 dikatakan komunitas kurang stabil, jikan nilai H’ antara 1-2 dikatakan komunitas stabil, dan jika nilai H’ > 2 dikatakan komunitas sangat stabil.Besaran H’ < 1.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong rendah, H’ = 1.5 – 3.5 menunjukkan keanekaragaman jenis tergolong sedang dan H’ > 3.5 menunjukkan keanekaragaman tergolong tinggi (Welch, 1980).
Kestabilan suatu jenis juga dipengaruhi oleh tingkat kemerataannya, semakin tinggi nilai H’, maka keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut semakin stabil (Odum, 1996).Suatu jenis yang memiliki tingkat kestabilan yang tinggi mempunyai peluang yang lebih besar untuk mempertahankan kelestarian jenisnya.Untuk menilai kemantapan atau kestabilan jenis dalam suatu komunitas dapat digunakan nilai indeks kemerataan jenis (e’).Semakin tinggi nilai e’, maka keanekaragaman jenis dalam komunitas semakin stabil dan semakin rendah nilai e’, maka kestabilan keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut semakin rendah.
E   =
Dimana:
e’= Indeks kemerataan jenis
H’=Indeks Shannon
S = Jumlah jenis yang ditemukan
Ln =  Logaritma natural
Jika nilai e’ semakin tinggi menunjukkan jenis-jenis dalam komunitas tersebut semakin menyebar. Besaran E’ < 0.3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah, E’ = 0.3 – 0.6 kemerataan jenis tergolong sedang dan E’ > 0.6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi (Welch, 1980).
Indeks kekayaan spesies (S), yaitu jumlah total spesies dalam satu komunitas.  S  tergantung  dari  ukuran  sampel  (dan  waktu  yang  diperlukan  untuk  mencapainya),  ini dibatasi  sebagai  indeks  komperatif .  Karena  itu,  sejumlah  indeks diusulkan untuk menghitung kekayaan spesies  yang tergantung pada ukuran sampel. Ini disebabkan karena hubungan antara S dan jumlah total individu yang diobservasi , n, yang meningkat  dengan meningkatnya ukuran sampel.
 Indeks Margalef (1958)    R = 
Berdasarkan Magurran (1988) besaran R< 3.5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah, R = 3.5 – 5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R tergolong tinggi jika > 5.0.

2.2 Makrozoobenthos
Menurut Vyas (2012) menyatakan bahwa ekosistem sungai secara tata ruang dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu ruang air yang berisi organisme hidup seperti tumbuhan air, plankton, ikan dan lain-lain, serta ruang dasar sungai yang berisi populasi bentik atau bentos yang hidup dalam dan atau menempel pada sedimen. Secara ekologis organisme di perairan sungai dapat dibedakan menjadi dua zone atau subhabitat, yaitu :
a.  Subhabitat riam : merupakan bagian sungai yang airnya dangkal tetapi arusnya cukup kuat untuk mencegah terjadinya pengendapan sedimen dasar, sehingga dasar sungai bersifat keras. Pada daerah ini hidup organisme bentik atau perifiton khususnya yang dapat melekat atau berpegang erat pada substrat padat dan jenis ikan yang dapat berenang melawan arus.
b.  Subhabitat arus lambat : merupakan bagian sungai yang lebih dalam dan arusnya lebih lemah atau lambat dibandingkan subhabitat riam. Pada daerah ini partikel-partikel cenderung mengendap sebagai sedimen di dasar sungai.Pada daerah ini hidup organisme bentos, nekton dan kadang-kadang plankton.
Bentos adalah semua organisme air yang hidupnya terdapat pada substrat dasar suatu perairan, baik yang bersifat sesil (melekat) maupun vagil (bergerak bebas). Berdasarkan tempat hidupnya, bentos dapat dibedakan menjadi epifauna yaitu bentos yang hidupnya di atas substrat dasar perairan dan infauna,yaitu bentos yang hidupnya tertanam di dalam substrat dasar perairan (Vyas, 2012).
Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang (Rosenberg dan Resh, 1993). Hewan  ini memegang beberapa peran penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan (Lind, 1985), serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan (Odum, 1994).
Berdasarkan  ukurannya, zoobentos dapat digolongkan ke dalam kelompok zoobentos mikroskopik atau mikrozoobentos dan zoobentos makroskopik yang disebut juga dengan makrozoobentos. makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang-kurangnya 3 – 5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. makrozoobentos dapat ditahan dengan saringan No. 30 Standar Amerika. Makrozoobentos merupakan organisme yang tertahan pada saringan yang berukuran besar dan sama dengan 200 sampai 500 mikrometer (Rosenberg and Resh, 1993).
Makrozoobentos juga merupakan kelompok hewan yang lebih besar dari 1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan bentos yang terbesar, jenis hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca, annelida, crustaceae, beberapa insekta air dan larva dari diptera, odonata dan lain sebagainya. Hewan ini memegang peranan penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan. Kedudukan makroinvertebrata air di dalam tingkatan trofik digolongkan ke dalam kelompok :
a.  Grazers dan Serapers
b. Shredders
c. Collector
d. Predator
Berdasarkan cara makannya, makrozoobentos dibedakan menjadi 2, yaitu.
1.      Filter feader, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dengan menyaring air
2.      Deposit feader, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dalam substrat dasar. Misalnya, mollusca-bivalva, beberapa jenis Echinodermata dan Crustacea berdasarkan keberadaannya diperairan.
Pengelompokkan spesies makrozobentos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik ke dalam kelompok :
a.  Intoleran
b. Fakultatif
c. Toleran
   Berdasarkan keberadaanya diperairan, makrozoobentos digolongkan menjadi kelompok epifauna yaitu hewan bentos yang hidup melekat pada permukaan dasar perairan, sedangkan hewan bentos yang hidup di dalam dasar perairan diseut infauna. Komunitas bentos dapat juga dibedakan berdasarkan pergerakanna, yaitu kelompok hewan bentos yang hidupnya menentap (sesile) dan hewan bentos yang hidupnya berpindah-pindah (motile). Hewan bentos yang hidup sesile seringkali digunakan sebagai indikator kondisis perairan. Struktur komunitas zoobentos dipengaruhi berbagai faktor lingkungan abiotik dan biotik (Vyas, 2012).
Secara abiotik, faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos adalah faktor fisika-kimia lingkungan perairan. Sifat fisik perairan seperti : pasang surrut, kedalaman, kecepatan arus, kekeruhan atau kecerahan, substrat dasar dan suhu air. Sifat kimia antara lain kandungan oksigen dan karbondioksidaterlarut, pH, bahan organik, dan kandungan hara berpengaruh terhadap hewan bentos. Faktor biologi perairan juga termasuk faktor penting bagi kelangsungan hidup hewan bentos. (Tudorancea et all. 1979). Jenis bentos yang digunakan sebagai indikator pencemaran sungai dari yang dapat hidup di air yang sangat bersih hingga yang tahan di air yang paling kotor antara lain.
1.    Nimfa plecoptera (serangga-serangga) bangsa Plecoptera hidupnya memerlukan
lingkungan air yang sangat baik (sangat bersih).
2.    Nimfa lalat sehari atau serangga-serangga bangsa Ephemeroptera. Seranggaserangga ini dapat hidup di lingkungan yang sangat baik sampai lingkungan yang
buruk.
3.    Larva ulat kantung air atau serangga-serangga bangsa Trichoptera. Serangga-
serangga yang membutuhkan lingkungan yang baik dan sangat baik.
4.    Udang-udangan (Crustacea dari bangsa Decapoda). Biota yang membutuhkan
lingkungan yang sangat baik.
5.    Nimfa capung atau serangga-serangga bangsa Odonata . serangga –serangga yang
membutuhkan lingkungan hidup yang baik.
6.    Binatang lunak atau Mollusca. Hidup di lingkungan yang kondisinya sedang
sampai buruk.
7.    Kepik air (serangga-serangga bangsa Hemiptera) hidup di lingkungan yang sangat
baik sampai lingkungan yang sangat sedang.
8.    Kumbang(seranggas-serangga bangsa Coleoptera) umumnya hidup di kondisi
lingkungan sedang.
9.    Larva nyamuk atau larva lalat. Hidup di lingkungan yang sedang sampai
lingkungan yang buruk.
10.    Cacing biasanya hidup lingkungan yang sangat buruk.














BAB III
METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Pengamatan  dilaksanakan pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 07.00 sampai 08.30 WIB. Pengamatan dilakukan pada 3 bagian Sungai FMIPA UM, yaitu bagian  hulu (Stasiun 1), tengah (Stasiun 2) dan hilir (Stasiun 3), dimana masing-masing stasiun dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali dan fokus pengambilan sampel yakni bagian tepi kiri, kanan dan tengah. Untuk identifikasi sampel dilakukan di laboratorium Ekologi F-MIPA UM di gedung Biologi O5 109.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu Jaring suber, nampan plastik, kantung plastik, karet gelang, pinset, DO meter, Multiparameter Tester, Tabel Skoring, Lup dan kertas label. Pada praktikum kali ini digunakan Metode pengambilan sampel makrozoobentos yaitu metode purposive random sampling yaitu metode pencuplikan yang dilakukan secara sengaja.  Pengambilan dari contoh makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan  surber sampler di dasar perairan sungai dengan cara mengeruk bagian luasan petak. Hal tersebut dilakukan agar hewan bentos yang berada di dasar sungai maupun yang menempel pada bebatuan dapat terbawa arus dan masuk ke surber sampler. Sampel yang didapatkan di lapangan diidentifikasi di laboratorium Ekologi F-MIPA UM di gedung Biologi O5 109.











3.3 Prosedur Kerja
       Cara kerja dari praktikum yang telah dilakukan dibagi menjadi dua tahap, yang pertama tahap pengambilan sampel dan tahap pengamatan.
a.       Pengambilan Sampel

b.      Pengamatan
Untuk mengetahui indeks keanekaragaman (H’) menggunakan rumus Shannon dan Weaner (Fachrul, 2007):
(H’) = ∑(-Pi . ln Pi )
Keterangan :
Pi = ni/N (rasio jumlah individu satu marga terhadap keseluruhan marga)
H’ = penduga keragaman populasi
Dalam Wilh (1975), kriteria nilai indeks menurut Shannon:
H’<1 = tercemar atau kualitas air tercemar berat
H 1-3 = stabilitas komunitas biota sedang atau air tercemar sedang
H’>3 = stabilitas komunitas biota dalam kondisi prima (stabil) atau kualitas air bersih
       Untuk mengetahui indeks kemerataan (E) dapat menggunakan rumus:
E          =
Keterangan      :
S (Indeks Shannon Weiner) = Jumlah jenis spesies
E’ < 0.3 =  rendah
E’ = 0.3 – 0.6 = sedang
E’ > 0.6 = tinggi.
       Untuk mengetahui indeks kekayaan (R) dapat menggunakan rumus:
R         =
Keterangan      :
R< 3.5 =  rendah
R = 3.5 – 5.0 = sedang
R> 5.0 = tinggi
      














BAB IV
ANALISIS DATA
1.      Stasiun 1
No.
Spesies
Jumlah
Pi
ln Pi
-Pi ln Pi
1.
Cacing Ramping
13
0,1511
-1,88
0,2840
2.
Larva Mrutu Penggigit
5
0,0581
-2,845
0,242
3.
Larva Kumbang Putar
2
0,0232
-3,76
0,087
4.
Larva Mrutu
64
0,7441
-0,295
0,220
5.
Larva Lalat HItam
2
0,0232
-3,76
0,087

Jumlah total spesies
86


0,92

Keterangan      :
Pi =
N = Jumlah organisme pada seluruh spesies
n = Jumlah organisme pada spesies X

·      Indeks Keanekaragaman
H’        = ∑(-Pi . ln Pi )
            = 0,92 ( Keanekaragaman rendah )

Karena indeks keragaman rendah, maka mengindikasikan bahwa adanya pencemaran dengan tingkat yang tinggi sehingga perairan kotor dan mempengaruhi keanekaragaman yang ada.

Keterangan      :
H’ < 1.5 = rendah
H’ = 1.5 – 3.5 = sedang
H’ > 3.5 = tinggi
·      Indeks Kemerataan
E          =
            = 0,571 (Kemerataan sedang )
Keterangan      :
S (Indeks Shannon Weiner) = Jumlah jenis spesies
E’ < 0.3 =  rendah
E’ = 0.3 – 0.6 = sedang
E’ > 0.6 = tinggi.
·           Indeks kekayaan
R         =
            = 0,89 ( Kekayaan jenis rendah )
Keterangan      :
R< 3.5 =  rendah
R = 3.5 – 5.0 = sedang
R> 5.0 = tinggi
·               Faktor Abiotik
DO                  = 0,6 mg/l
( Nilai oksigen terlarut dalam perairan tergolong rendah )
Udara              = 4,2%
                        ( Nilai oksigen dalam udara tergolong rendah )
pH                   = 7,55
( pH masih berada dalam rentangan normal )
Suhu                = 25o C
( Suhu masih berada dalam rentangan normal )
Salinitas           = 0%
                        ( Tidak terdapat garam terlarut dalam air )
        
            Pada stasiun 1 juga ditemukan 5 spesies dengan total spesies 86 ekor yakni cacing ramping sebanyak 13 ekor, Larva mrutu pengigit 5 ekor, larva kumbang putar 2 ekor, larva mrutu 64 ekor, dan larva lalat hitam 2 ekor. Dari hasi perhitungan diperoleh untuk indeks keanekaragaman ( H’) 0,92 yang tergolong dalam  keanekaragaman rendah, indeks kemerataan (E) 0,571 yang  tergolong dalam Kemerataan sedang, dan indeks kekayaan  (R)  0,89 yang  tergolong dalam  Kekayaan jenis rendah .

2.      Stasiun 2
Makrozoobenthos pada Stasiun 2
No
Makrozoobenthos
Ulangan
Skor
Rerata
Kanan
Tengah
Kiri
1
Larva Mrutu
120
98
74
2
16/5 = 3,2
(Kualitas Air Kotor)
2
Larva Nyamuk
23
28
25
5
3
Cacing
1
-
1
1
4
Cacing Ramping
8
-
3
5
5
Kepiting
-
3
-
3
Jumlah
16


Stasiun 2
No.
Spesies
Kelimpahan (ni)
Pi = ni/N
Ln pi
-pi Ln pi
1.
Larva Mrutu
292
0,76
-0,27
0,21
2.
Larva Nyamuk
76
0,2
-1,62
0,32
3.
Cacing
2
0,005
-5,26
0,03
4.
Cacing Ramping
11
0,3
-3,55
1,06
5.
Kepiting
3
0,008
-4,85
0,04

Total
N = 384


1,66


Keterangan      :
Pi =
N = Jumlah organisme pada seluruh spesies
n = Jumlah organisme pada spesies X

·      Indeks Keanekaragaman
H’        = ∑(-Pi . ln Pi )
            = 1,66 ( Keanekaragaman sedang )

Keterangan      :
H’ < 1.5 = rendah
H’ = 1.5 – 3.5 = sedang
H’ > 3.5 = tinggi
·      Indeks Kemerataan
E          =
            = 1, 031 (Kemerataan tinggi )
Keterangan      :
S (Indeks Shannon Weiner) = Jumlah jenis spesies
E’ < 0.3 =  rendah
E’ = 0.3 – 0.6 = sedang
E’ > 0.6 = tinggi.
·           Indeks kekayaan
R         =
            = 0,672 ( Kekayaan jenis rendah )
Keterangan      :
R< 3.5 =  rendah
R = 3.5 – 5.0 = sedang
R> 5.0 = tinggi
Berdasarkan hasil pengamatan pada wilayah sungai stasiun 2 dapat diketahui jenis-jenis spesies yang terdapat pada 3 area yakni, kanan, kiri dan tengah. Spesies yang ditemukan diantaranya larva mrutu, larva nyamuk, cacing, cacing rambut pipih, dan kepiting. Pada area kanan sungai terdapat 120 spesies larva mrutu, 23 larva nyamuk, dan 8 cacing rambut.selanjutnya pada area tengah terdapat 98 larva mrutu, 28 larva nyamuk dan 3 kepiting. Yang terakhir pada area kiri ditemukan 74 larva mrutu, 25 larva nyamuk, 1 cacing, 5 cacing rambut pipih, dan 3 kepting. Dari hasil yang didapatkan, kualitas air sungai dapat diperkirakan melalui table skor yang telah tersedia. Berdasarkan hasil dari pembagian jenis spesies terhadap total jumlah skor keseluruhan didapatkan angka 3,2 yang menunjukkan  kualitas air sungai tergolong dalam kategori sangat kotor.
Selanjutnya menghitung indeks keseragaman (H’) menggunakan rumus yang telah tertera diatas menghasilkan nilai sebesar 1,66. Selain itu nilai indeks (R) senilai 0,67. Sedangkan nilai indeks keseragaman jenis benthos (E) adalah 1,03.
Praktikum kedua yakni mengukur faktor biotic air sungai. Factor yang diukur PH air, suhu, kadar oksigen terlarut, turbiditas, dan salinitas air. Factor PH diukur menggunakan PH meter yang menghasilkan skala sebesar 7,63 tergolong netral kearah basa. Selanjutnya factor suhu juga diukur menggunakan pH meter menghasilkan suhu sebesar 250 C, diukur menggunakan DO meter 24,20 C, dan diukur menggunakan Turbidity meter 23,90 C dengan rerata suhu ketiga alat tersebut senilai 24,360 C . Turbiditas diukur menggunakan Turbidity meter menghasilkan nilai sebesar 4 mg/l. Salinitas air sebesar 0%, dan kadar oksigen yang terlarut dalam air 4,5 mg/l.

3.      Stasiun 3
Makrozoobenthos pada Stasiun 3
No
Spesies
Pi
ln pi
-pi ln pi
1.
Larva Merutu
589
0,7
-0,356674943
0,2497
2.
Larva Nyamuk
237
0,28
-1,272965676
0,3564
3.
Siput Kolam
13
0,02
-3,912023005
0,7820
4.
Kepiting Sungai
2
0,002
-6,214608098
0,0124
Jumlah
841


0,6967
Stasiun 2
Faktor Abiotik
Skala Terbaca
pH
7,64
Suhu
25,9°C
DO
2,1 mg/L
Kadar Oksigen Terlarut
4,3%
Salinitas
0%

Keterangan      :
Pi =
N = Jumlah organisme pada seluruh spesies
n = Jumlah organisme pada spesies X

·      Indeks Keanekaragaman
H’        = ∑(-Pi . ln Pi )
            = 0,6967 ( Keanekaragaman rendah )
Keterangan      :
H’ < 1.5 = rendah
H’ = 1.5 – 3.5 = sedang
H’ > 3.5 = tinggi
·      Indeks Kemerataan
E          =
            = 0,503 (Kemerataan sedang )
Keterangan      :
S (Indeks Shannon Weiner) = Jumlah jenis spesies
E’ < 0.3 =  rendah
E’ = 0.3 – 0.6 = sedang
E’ > 0.6 = tinggi.
·           Indeks kekayaan
R         =
            = 0,45( Kekayaan jenis sedang )
Keterangan      :
R< 3.5 =  rendah
R = 3.5 – 5.0 = sedang
R> 5.0 = tinggi
            Berdasarkan tabel hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa pada stasiun 3 didapatkan data yang menunjukkan adanya faktor abiotik dan biotik pada suatu lingkungan. Data faktor abiotik yang didapatkan berupa pH dengan skala 7,64, suhu dengan skala 25,9°C, DO 2,1 mg/L, kadar oksigen terlarut dengan skala 4,3% dan salinitas dengan skala 0%. Untuk data makrozoobentos yang ditemukan pada stasiun 3 diketahui ada 4 jenis, antara lain: larva mrutu, larva nyamuk, siput kolam dan kepiting sungai. Berdasarkan perhitungan menggunakan indeks Shannon-Wienner didapatkan data indeks keragaman (H’) sebesar 0, 6967 yang menunjukkan keanekaragaman rendah dan mengindikasikan tingkat pencemaran yang cukup tinggi. Kemudian indeks kemerataan (E) sebesar 0,503 yang mengindikasikan kemerataan sedang, dan indeks kekayaan sebesar 0,45 yang merupkan kekayaan yang ada sedang.





BAB V
HASIL dan PEMBAHASAN
Stasiun 1
            Jumlah total spesies yang ada di stasiun 1 adalah 86 ekor yang terdiri dari cacing ramping sebanyak 13 ekor, Larva mrutu pengigit 5 ekor, larva kumbang putar 2 ekor, larva mrutu 64 ekor, dan larva lalat hitam 2 ekor. Spesies yang paling banyak ditemukan adalah larva mrutu sedangkan yang paling sedikit adalah larva kumbang putar dan larva lalat hitam.  Keanekaragaman, kelimpahan dan kekayaan makrozoobentos pada setiap stasiun erat kaitannya dengan faktor lingkungan yang terdapat pada masing-masing stasiun. Makrozoobentos yang ditemukan di setiap stasiun penelitian keberadaannya berasal dari penyesuaian terhadap kondisi lingkungan (Noortiningsih et al., 2008).
Indeks keanekaragaman (H’) makrozoobentos yang di dapatkan di Sungai UM statasiun 1  yaitu 0,92. Wilhm (1975), menggolongkan tingkat pencemaran sungai berdasarkan indeks keanekaragaman yaitu tercemar sangat ringan, tercemar sedang, dan tercemar berat dengan indeks keanekaragaman ˃3; 1 - 3 dan ˂1. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, kualitas air Sungai UM pada stasiun 1 Berdasarkan indeks keanekaragaman makrozoobentos termasuk tercemar berat. Menurut Rahmawaty  (2011), semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman sungai maka semakin rendah pula tingkat pencemarannya begitu juga sebaliknya semakin rendah nilai indeks keanekaragaman sungai maka semakin tinggi  pula tingkat pencemarannya . Substrat dasar perairan berlumpur, nilai oksigen terlarut dalam perairan tergolong rendah yakni 0,6 mg/I,  Nilai oksigen dalam udara tergolong rendah yakni 4,2%,  pH masih berada dalam rentangan normal karena berkisar antara 7,55,  suhu 25°C  dan  tidak terdapat garam terlarut dalam air sehingga  termasuk ke dalam tipe habitat yang kurang disukai oleh makrozoobentos.
Adanya larva mrutu yang berasal dari filum Annelida menandakan bahwa lingkungan tersebut telah tercemar (Sastrawijaya, 2009). Hal ini merupakan indikator pencemaran bahan organik karena jenis ini sangat toleran terhadap kandungan oksigen terlarut yang rendah dan partikel tersuspensi yang tinggi dalam sungai. Menurut Rahmawaty (2011) keanekaragaman suatu area juga dipengaruhi oleh faktor substrat yang tercemar, kelimpahan sumber
makanan, kompetisi antar dan intra taxa, gangguan dan kondisi dari lingkungan sekitarnya sehingga taxa yang mempunyai daya toleransi yang tinggi akan semakin
bertambah sedangkan yang memiliki daya toleransi yang rendah akan semakin menurun.
          Indeks keseragaman makrozoobentos di habitat  sungai UM pada stasiun 1 berkisar 0,571. Jika indeks keseragaman mendekati nilai 1,00 berarti bahwa semua sampel makrozoobentos yang ada pada stasiun tersebut memiliki jumlah jenis organisme yang sama. Dapat disimpulkan bahwa, populasi makrozoobentos di perairan yang diteliti hampir semua stasiun merata dengan nilai keseragaman pada masing-masing stasiun melebihi nilai 0,50 (Oktarina et al, 2015).
Indek kekayaan berhubungan erat dengan Indeks dominansi yang menunjukkan sejauh mana suatukelompok biota mendominasi kelompok lain. Nilai indeks kekayaan di habitat Sungai ini berkisar 0,89 yang  tergolong dalam  Kekayaan jenis rendah, artinya hanya biota tertentu saja yang mendominasi. Adanya indeks dominansi menunjukkan bahwa tidak semua taxa makrozoobentos memiliki daya adaptasi dan kemampuan untuk bertahan hidup yang sama di suatu tempat. Hal ini juga berarti makrozoobentos di lokasi pengamatan belum memanfaatkan secara maksimal sumberdaya yang ada pada lokasi pengamatan (Oktarina et al, 2015).

Stasiun 2
Pada praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui kualitas perairan sungai area 2 dekat kebun biologi. Kualitas perairan ini dapat ditentukan dengan cara melihat keberadaan makrozoobentos di perairan tersebut kaarena sifat hidupnya yang cenderung menetap. Pada stasiun 2 ditemukan beberapa makrozoobentos, yaitu, larva mrutu, larva nyamuk, cacing, cacing rambut pipih, dan kepiting. Kebanyakan spesies yang ditemukan berada di dasar air atau bahkan masuk ke dalam sedimen air sungai. Makrozoobenthos itu snediri merupakan golongan hewan-hewan kecil ukuran tubuh millimeter yang sebagian besar atau seluruh hidupya berada didasar perairan, yang bergerak lambat atau merayap, menggali lubang atau menempel (Rosenberg dan Resh, 1993). Makrozoobenthos diantaranya adalah crustacea, isopoda, dekapoda, oligochaeta, molusca, nematode, dan analida.(). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan kebanyakan ditemukan spesies cacing merutu yang berada pada sedimen air sungai.
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui kualitas perairan di sungai kebun biologi stasiun 2 ini memiliki kualitas air yang buruk. Hal ini didasarkan pada penemuan jenis makrozoobenthos larva nyamuk , larva mrutu, cacing bersegmen. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa, berdasarkan indikator makrozoobenthos, kondisi perairan dapat dikategorikan menjadi lima kondisi, yaitu : kondisi sangat buruk, kondisi buruk, kondisi sedang, baik, dan kondisi sangat baik. Pada kondisi sangat baik ditemukan berbagai macam hewan. Pada kondisi baik ditemukan udang air biasa, nimfa lalat sehari insang segiempat, larva ulat air, nimfa capung jarum dan biasa. Pada kondisi sedang ditemukan larva kumbang, angang-anggang, kepik air, siput berpintu, siput tak berpintu, cacing pipih dan kerang. Kondisi buruk biasanya ditemukan larva nyamuk dan lalat, belatung ekor tikus, larva mrutu biasa, cacing bersegmen, dan lintah. Sedangkan pada kondisi sangat buruk tidak ditemukan hewan. (Lind, 1985).
Faktor abiotik yang diamati pada stasiun 2 diantaranya ph air, suhu, kadar oksigen terlarut, turbiditas, dan salinitas air. Nilai ph air sungai sebesar 7,63 yang bersifat netral menuju basa. Ph 7,63  merupakan ph yang cocok untuk kehidupan organisme akuatik sehingga mendukung kelangsungan hidup semua spesies yang telah ditemukan. Hal ini diperkuat oleh teori yang menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai nilai ph sekitar 7-8,5. Alga akan memanfaatkan karbondioksida hingga batas ph tidak memungkinkan lagi bagi alga untuk tidak menggunakan karbondioksida (sekitar 10-11), karena ph itu karbondioksida bebas tidak dapat ditemukan. Nilai ph sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya nitrifikasi akan berakhir bila ph rendah (Tudorancea et all. 1979).
Suhu rerata sebesar 24,360 c, hal ini menunjukkan organisme yang ditemukan cocok dengan suhu sekian. Suhu memiliki relative yang tidak terlalu berbeda sehingga parameter ini tidak terlalu mempengaruhi kehidupan organisme akuatik tertentu. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa pada lingkungan perairan mempunyai variasi suhu yang relative sempit. Hal ini disebabkan karena air sebagai penutup permukaan bumi mempunyai peran peredam panas dari pancaran matahari. Sehubungan dengan itu maka kisaran toleransi hewan-hewan akuatik pada umumnya relative sempit dibandingkan degan hewan-hewan daratan (Faiturrahman, 1992).
Faktor lain yang diamati adalah kadar oksigen yang terlarut dalam air. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kadar oksigen senilai 4,5 mg/l menunjukkan kadar yang kurang ideal . Menurut Susanto (2008), kadar oksigen terlarut dalam air sebanyak 5-6 ppm merupakan kondisi ideal, sedangkan batas minimum oksigen dalam perairan adalah 3 ppm, pada 4 ppm beberapa jenis ikan masih bertahan hidup namun nafsu makannya mulai menurun. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dinilai adanya penurunan kadar oksigen di sungai kebun biologi mengingat angka tersebut tidak mencapai kondisi ideal. Turunnya kadar oksigen ini disebabkan kondisi air yang sudah tercemar, sesuai dengan teori bahwa pada umumnya perairan yang telah tercemar kandungan oksigennya sangat rendah, hal ini karena oksigen terlarut di dalam air diserap oleh mikroorganisme untuk mendegradasi bahan buangan organik sehingga menjadi bahan yang mudah menguap. Selain itu bahan buangan organik juga dapat bereaksi dengan oksigen yang terlarut di dalam air sehingga semakin sedikit sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya (Tudorancea et all. 1979).
Faktor lain juga dipengaruhi tingkat kekeruhan (turbidity) air yang memiliki kadar 4 mg/l. Semakin tinggi tingkat kekeruhan air maka intensitas cahaya yang mauk ke perairan akan berkurang, sehingga organisme yang ada akan mengalami kematian. Dari hasil pengamatan, tingkat kekeruhan air sungai metro adalah sebesar 1. Kekeruhan dan kedalaman air mempunyai pengaruh terhadap jumlah dan jenis hewan benthos. Semakin keruh suatu perairan maka jumlah dan jenis benthos akan semakin sedikit, begitupula sebaliknya. Dalam hal ini sungai metro mempunyai kualitas air yang sedang atau mendekati kotor. Salinitas air sungai senilai 0% hal ini sesuai karena salinitas yang tinggi biasanya hanya terdapat pada air laut.
Berdasarkan kondisi abiotik tersebut, dapat dihubungkan dengan nilai indeks keragaman (h’) stasiun 2 senilai 1,66. Nilai tersebut mengindikasikan nilai ekologis yang rendah sehingga spesies yang ditemukan pula menjadi kurang beragam.menurut Odum, (1996), kisaran nilai indeks keragaman 0-1 menunjukkan bahwa daerah tersebut terdapat tekanan ekologis yang tinggi dan indeks keragaman spesies dengan sebaran individu tidak merata dan kestabilan kominitas rendah.kisaran1-3 menunjukkan indeks keragaman yang sedang dan kestabilan komunitas sedang,sedangkan nilai keragaman >3 menunjukkan keadaan suatu daerah yang mengalami tekanan ekologis rendah dan indeks keragaman spesies tinggi dengan sebaran individu tinggi dengan kestabilan komunitas tinggi.

Stasiun 3
Pengamatan kualitas perairan yang ditinjau dari faktor biologi menggunakan indikator makrozoobenthos pada stasiun 3 menemukan adanya 4 jenis makrozoobentos, diantaranya: larva mrutu, larva nyamuk, siput kolam dan kepiting sungai. Kebanyakan spesies ditemukan berada di permukaan air dan menempel pada bebatian di dasar air. Makrozoobenthos itu sendiri merupakan golongan hewan-hewan kecil berukuran tubuh milimeter yang sebagian besar atau seluruh hidupnya berada di dasar perairan, yang bergerak lambat atau merayap, menggali luban atau menempel (Welh, 1980).
Menurut Roienberg dan Rush (1993) makrozoobenthos adalah hewan-hewan yang hidup di substrat-substrat dasar umumnya golongan invertebrata. Makrozoobenthos umumnya hidup diberbagai habitat seperti danau, kolam, selokan, sungai bahkan dilaut. Makrozoobenthos diantaranya adalah crustacea, isopoda, dekapoda, oligochaeta, molusca, nematode, dan annelida (Brotowidjoyo,1990). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada stasiun 3, sebagian besar ditemukan jenis makrozoobenthos larva mrutu yang masuk dalam filum arthropoda dan kelas insekta. Larva nyamuk termasuk dalam filum antropoda dan kelas insekta. Siput kolam termasuk dalam filum mollusca dan kelas gastropoda dan kepiting air termasuk ke dalam filum arthropoda dan kelas malacostrcaca.
Adanya pencemaran lingkungan, maka keanekaragaman spesies akan menurun dan mata rantai makanannya menjadi lebih sederhana. Makrozoobenthos dapat di jadikan indikator biologis pencemaran sungai dapat di amati dari keanekaragaman spesies dan laju pertumbuhan spesies. Berdasarkan data pengamatan dari stasiun 3, dapat disimpulkan bahwa kualitas air disungai menyebabkan keanekaragaman flora dan fauna ekosistem sungai kecil, sehingga sungai tersebut tercemar atau kotor.
Indikator makrozoobenthos, kondisi perairan dapat dikategorikan menjadi lima kondisi, yaitu : kondisi sangat buruk, kondisi buruk, kondisi sedang, baik, dan kondisi sangat baik. Pada kondisi sangat baik ditemukan berbagai macam hewan. Pada kondisi baik ditemukan udang air biasa, nimfa lalat sehari insang segiempat, larva ulat air, nimfa capung jarum dan biasa. Pada kondisi sedang ditemukan larva kumbang, angang-anggang, kepik air, siput berpintu, siput tak berpintu, cacing pipih dan kerang. Kondisi buruk biasanya ditemukan larva nyamuk dan lalat, belatung ekor tikus, larva mrutu biasa, cacing bersegmen, dan lintah. Sedangkan pada kondisi sangat buruk tidak ditemukan hewan (Tuarita, 2006).
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, didapatkan suhu sebesar 25,9°C dan organism makrozoobenthos yang ditemukan adalah larva mrutu, larva nyamuk, siput kolam dan kepiting sungai. Jadi organisme tersebut dapat hidup pada suhu suhu optimum tersebut. Faktor abiotik lain yang diukur pada stasiun 3 antara lain pH dengan skala 7,64, DO 2,1 mg/L, kadar oksigen terlarut dengan skala 4,3% dan salinitas dengan skala 0%. Peningkatan suhu akan menyebabkan kenaikan aktivitas enzim dalam membantu reaksi metabolism. Akan tetapi, pada lingkungan perairan mempunyai variasi suhu yang relative sempit. Hal ini disebabkan karena air sebagai penutup permukaan bumi mempunyai peran peredam panas dari pancaran matahari. Sehubungan dengan itu maka kisaran toleransi hewan-hewan akuatik pada umumnya relative sempit dibandingkan degan hewan-hewan daratan (Faiturrahman,1992).
Makrozoobenthos juga memiliki kisaran toleransi tersendiri terhadap konsentrasi oksigenter terlarut (DO). Bahan-bahan organic yang berasal dari buangan domestik, masuk ke dalam sungai, diuraikan oleh mikroba dengan bantuan oksigen. Oleh karena itu, semakin tercemarsuatu perairan, maka semakin sedikit kadar oksigen, karena oksigen terlarut dalam air digunakan mikroba untuk menguraikan sampah organ (Faiturrahman,1992).
Oksigen yang terlarut dalam air diperoleh dari hasil fotosintesis. Kadar oksigen dalam air dapat diukur dengan menggunkan DO meter dan turbidimeter. Organisme tidak bisa bertahan hidup apabila berada pada air yang memiliki kadar oksigen kurang dari 5 ppm (5 mg/L) sedangkan bakteri anaerob akan berkembang biak dengan cepat. Dari hasil pengamatan, kadar oksigen terlarut adalah sebesar 2,1 mg/L, hal ini menunjukkan bahwa kadar oksigen dalam taraf kurang atau rendah.
Oksigen adalah gas yang amat penting bagi hewan. Perubahan kandungan oksigen terlarut di lingkungan sangat berpengaruh terhadap hewan air. Kebutuhan oksigen sangat bervariasi, tergantung oleh jenis, stadia dan aktivitas makrozoobenthos. Kandungan oksigen terlarut mempengaruhi jumlah dan jenis makrozoobenthos di perairan. Semakin tinggi kadar oksigen terlarut maka jumlah benthos semakin banyak. Semakin tinggi tingkat kekeruhan air maka intensitas cahaya yang mauk ke perairanakan berkurang, sehingga organisme yang ada akan mengalami kematian.
Indeks keanekaragaman (H’) makrozoobentos yang di dapatkan di Sungai UM statasiun 3  yaitu 0,6967. Wilhm (1975), menggolongkan tingkat pencemaran sungai berdasarkan  indeks keanekaragaman yaitu tercemar sangat ringan, tercemar sedang, dan tercemar berat dengan indeks keanekaragaman ˃3; 1 - 3 dan ˂1. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, kualitas air Sungai UM pada stasiun 3 Berdasarkan indeks keanekaragaman makrozoobentos termasuk tercemar berat. Menurut Rahmawaty  (2011), semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman sungai maka semakin rendah pula tingkat pencemarannya begitu juga sebaliknya semakin rendah nilai indeks keanekaragaman sungai maka semakin tinggi  pula tingkat pencemarannya . Substrat dasar perairan berlumpur, nilai oksigen terlarut dalam perairan tergolong rendah yakni 2,1 mg/I,  kadar oksigen terlarut 4,3%,  pH masih berada dalam rentangan normal karena berkisar antara 7,64  suhu 25,9 °C  dan  tidak terdapat garam terlarut dalam air sehingga  termasuk ke dalam tipe habitat yang kurang disukai oleh makrozoobentos.
Adanya larva mrutu yang berasal dari filum Annelida menandakan bahwa lingkungan tersebut telah tercemar (Sastrawijaya, 2009). Hal ini merupakan indikator pencemaran bahan organik karena jenis ini sangat toleran terhadap kandungan oksigen terlarut yang rendah dan partikel tersuspensi yang tinggi dalam sungai. Menurut Rahmawaty (2011) keanekaragaman suatu area juga dipengaruhi oleh faktor substrat yang tercemar, kelimpahan sumber makanan, kompetisi antar dan intra taxa, gangguan dan kondisi dari lingkungan sekitarnya sehingga taxa yang mempunyai daya toleransi yang tinggi akan semakin bertambah sedangkan yang memiliki daya toleransi yang rendah akan semakin menurun.
          Indeks kemerataan  makrozoobentos di habitat  sungai UM pada stasiun 3 berkisar 0,503. Jika indeks keseragaman mendekati nilai 1,00 berarti bahwa semua sampel makrozoobentos yang ada pada stasiun tersebut memiliki jumlah jenis organisme yang sama. Dapat disimpulkan bahwa, populasi makrozoobentos di perairan yang diteliti hampir semua stasiun merata dengan nilai keseragaman pada masing-masing stasiun melebihi nilai 0,50 (Oktarina et al, 2015).
Indek kekayaan berhubungan erat dengan Indeks dominansi yang menunjukkan sejauh mana suatukelompok biota mendominasi kelompok lain. Nilai indeks kekayaan di habitat Sungai stasiun 3 ini berkisar 0,45 yang  tergolong dalam  Kekayaan jenis sedang, artinya hanya biota tertentu saja yang mendominasi. Adanya indeks dominansi menunjukkan bahwa tidak semua taxa makrozoobentos memiliki daya adaptasi dan kemampuan untuk bertahan hidup yang sama di suatu tempat. Hal ini juga berarti makrozoobentos di lokasi pengamatan belum memanfaatkan secara maksimal sumberdaya yang ada pada lokasi pengamatan (Oktarina et al, 2015).



















BAB VI
KESIMPULAN dan SARAN
4.1 Kesimpulan
(1)      Kualitas perairan sungai di FMIPA UM tergolong tercemar dilihat dari keragaman makrozoobentos yang ada dan juga faktor abiotik yang diukur.
(2)      Makrozoobentos juga merupakan kelompok hewan yang lebih besar dari 1,0 mm. Hewan ini memegang peranan penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan.
(3)      Dari praktikum yang telah dilakukan di sungai FMIPA UM, dapat ditemukan beberapa makrozoobentos diantaranya larva merutu, larva nyamuk, cacing, cacing jarum, dan tubifex.
(4)      Kemudian pada sungai ini keanekaragaman makrozoobenthos rendah, kemerataannya sedang, dan kekayaan jenisnya sedang.

4.2 Saran
Pada praktikum selanjutnya diharapkan lebih dipersiapkan lagi bahan dan juga pemahaman terhadap praktikum yang akan dilakukan sehingga tidak akan ada kesalahan fatal yang terjadi. Kemudian dalam menggunakan seluruh alat laboratorium hendaknya berhati-hati agar tidak rusak atau terbuang sia-sia.












DAFTAR RUJUKAN
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.USU Press. Medan.
Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.
Koesbiono. 1979. Dasar-dasar Ekologi Umum. Bagian IV (Ekologi Perairan). Sekolah Pascasarjana Program Studi Lingkungan. Bogor: IPB
Lind, O. T. 1985. Handbook of common methods in limnology.Sec. Ed. Kendall/Hunt Publ. Comp. Dubuque.
Magurran, A. E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Chapman and Hall, 2-6 Boundary Row, London SE1 8HN. 179p
Maryono, A. 2005. Ecological Hydraulics of River Development. Edisi Kedua. Yogyakarta: Magister Sistem Teknik Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.
Minggawati I. 2013. Struktur komunitas makrozoobentos di Perairan Rawa Banjiran Sungai Rungan, Kota Palangka Raya. Ilmu Hewani Tropika 2 (2): 64-67.
Noortiningsih. Ikna, S. Sri H. 2008. Keanekaragaman Makrozoobentos, Meiofauna, dan Foraminifera di Pantai Pasir Putih Barat dan Muara Sungai Cikamal Pangandaran, Jawa Barat. Jurnal Vis Vitalis. 01(1): 34-42.
Nybakken, JW. 1998. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta. PT. Gramedia.
Odum EP. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Yogayakarta : Gajah Mada University press. Rosenberg, D.M. and V.H. Resh ( eds.) 1993. Freshwater biomonitoring and benthic macroinvertebrates. Chapman and Hall : New York
Odum, E.p. 1996. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Gajah Mada University press : Yogyakarta.
Oktarina, Andria dan Tati Suryati Syamsudin, 2015. “Keanekaragaman dan distribusi makrozoobentos di perairan lotik dan lentik Kawasan Kampus Institut Teknologi Bandung, Jatinangor Sumedang, Jawa Barat”.  Jurnal Pros SEM NAS Masy Biodiv Indon, 1. 227-235.
Priyambada, I. B., Oktiawan W, dan R.P.E Suprapto. 2008. “Analisa Pengaruh Perbedaan Fungsi Tata Guna Lahan Terhadap Beban Pencemaran BOD Sungai (Studi Kasus Sungai Serayu Jawa Tengah)”. Jurnal Presipitasi, 5. 55-62.
Purnami AT, Sunarto, Setyono P. 2010. Study of bentos community based on diversity and similarity index in Cengklik DAM Boyolali. Ekosains 2 (2): 50-65.
Rahmawaty. 2011. Indeks keanekaragaman makrzoobentos sebagai bioindikator tingkat pencemaran di Muara Sungai Jeneberang. Bionature 12 (2): 103-109.
Rosenberg, D.M. and V.H. Resh ( eds.) 1993. Freshwater biomonitoring and benthic macroinvertebrates. Chapman and Hall : New York.
Sastrawijaya, A. T. 2009. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sharma R. Kumar A, Vyas V. 2013. Diversity of macrozoobenthos in Morand River-A Tributary of Ganjal River in Narmada Basin. Intl J Adv Fish Aquat Sci 1 (1): 57-65.
Stamenkovic VS, Smiljkov S, Prelic D, Paunovic M, Atanackovic A, Rimcheska B. 2010. Structural characteristic of benthic macroinvertebrate in The Mantovo Reservoir (South-East Part of the R. Macedonia). Balwois 2010-Ohrid, Republic of Macedonia-25,29 May 2010
Susanto, H. dan A. Rochdianto. 2008. Kiat Budi Daya Ikan Mas Dilahan Kritis. Jakarta:Penebar Swadaya Depok.
Tuarita, Hawa, dkk. 2006. Biologi untuk Kimia. Malang : UM press.
Tudorancea, C.; R. H. Green and J. Huebner. 1979. Structure Dynamics and Pro-duction of the Benthic Fauna in Lake Manitoba. Hydrobiologia
Vyas V, Bharose S, Yousuf S, Kumar A. 2012. Distribution of makrozoobenthos in River Narmada near water intake point. Nat SciRes 2 (3): 18-25.
Welch, C. 1980. Limnology. New York : McGraw-Hill Book Company Inc.
Wilhm JL. 1975. Biological indicator of pollution. Dalam: Whitton BA (eds). River Ecology. Blackwell Scientific Publications, Oxford, pp 375-402

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Homoiterm, Poikiloterm, Ektoterm dan Endoderm

Macam – Macam Faktor Pembatas

Leibig’s Law of The Minimum And Shelford Law of Tolerance